Saya, Khemal Andrias, sering kali memiliki ketertarikan yang mendalam pada hal-hal baru, khususnya yang bersinggungan dengan teknologi dan audiovisual. Perpaduan unik antara kedua minat ini akhirnya membawa saya pada disiplin ilmu yang menarik: Antropologi Digital.
Ketertarikan ini bukanlah tanpa akar. Fondasinya mungkin berasal dari masa kecil saya di sebuah kota kecil di selatan Bandung, di mana Ayah saya bekerja di bioskop. Setiap akhir pekan, studio bioskop dan layar lebar menjadi taman bermain saya. Saat Ayah bekerja, biasanya saya dibolehkan masuk ke studio untuk menonton film. Saya dibesarkan oleh film-film Indonesia yang dibintangi oleh Rhoma Irama, atau film-film superhero seperti Batman atau Power Ranger. Tayangan yang paling saya sukai adalah science fiction seperti Jurassic Park atau Star Wars. Kadang juga saya suka menonton drama seperti Titanic atau Romeo and Juliet, atau komedi seperti Warkop DKI. Selain menonton, biasanya saya diberi koin untuk bermain dingdong, meskipun saya tidak mahir bermain game. Pengalaman ini menanamkan rasa ingin tahu tentang kekuatan visual dan bagaimana media membentuk pandangan dunia.
Waktu berjalan, dan di bangku kuliah, saya memilih program studi Antropologi. Di luar dugaan, selain teknologi, isu-isu sosial dan humaniora ternyata sangat memikat. Saya menemukan bahwa Antropologi adalah lensa sempurna untuk mengkaji teknologi; bukan sekadar mempelajari alatnya, tetapi budaya, ritual, dan makna sosial di baliknya. Saya mulai mencoba menggabungkan kedua kecintaan ini, misalnya dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah melalui laporan videoetnografi atau photoetnografi amatir—sebuah upaya awal untuk mendokumentasikan fenomena sosial menggunakan medium visual.
Titik balik signifikan terjadi pada tahun 2011, ketika saya bersama rekan-rekan mendirikan Next Generation Indonesia, sebuah lembaga pemantau video game dan literasi digital. Organisasi ini menjadi wadah praktik nyata bagi saya untuk mengamalkan ilmu Antropologi dalam bidang digital. Melalui pendekatan Antropologi, kami tidak hanya memantau konten, tetapi berupaya memahami ekologi media dan praktik sosial di balik konsumsi digital. Berkat pengalaman ini, saya kemudian dipercaya menjadi tim penyusun kurikulum literasi digital Kominfo pada tahun 2022, di mana fokus saya adalah memastikan kurikulum tersebut sensitif terhadap etika, konteks sosial, dan keberagaman budaya dalam menggunakan teknologi.
Perkembangan tidak berhenti di sana. Pada tahun 2020, saya mendirikan PT Seluas Tanah Merah, sebuah studio kreatif yang banyak memproduksi konten-konten digital seperti video, foto, dan streaming. Sepanjang karir, saya telah memproduksi beragam konten digital, mulai dari Podcast, video dokumenter, hingga karya tulis. Semua proyek ini, tanpa disadari, adalah praktik berkelanjutan dalam mengamati dan merekam budaya digital—sebuah kajian yang semakin hari semakin erat kaitannya dengan Antropologi.
Hal inilah yang mendorong saya untuk melanjutkan studi S2 di jurusan Antropologi. Saat ini, fokus tesis saya adalah tentang Gawai dalam Komunitas Adat. Di sinilah saya semakin mendalami dan mengukuhkan ketertarikan pada Antropologi Digital: sebuah disiplin yang secara spesifik membahas dua dunia yang saling berinteraksi, yakni interaksi manusia dengan teknologinya dan manusia yang berinteraksi di dunia digital.
Antropologi Digital bagi saya adalah jembatan yang menarik: ia menggunakan lensa humaniora untuk memahami fenomena digital. Ia bukan hanya tentang meneliti teknologi, melainkan menyelami budaya, ritual, dan makna sosial yang tercipta di balik layar. Pengalaman saya, dari menonton sci-fi di bioskop hingga meneliti gawai sebagai artefak budaya, menunjukkan bahwa media—dulu film, kini gawai—selalu menjadi medium utama dalam memahami manusia.
Pertanyaan besar yang kini ingin saya eksplorasi adalah: Bagaimana kearifan lokal bernegosiasi dengan 'budaya gawai'? Dan sejauh mana teknologi membentuk identitas kita di era pasca-digital? Saya percaya, Antropologi Digital memegang kunci untuk menjawab tantangan tersebut.
Mari kita bahas lebih lanjut. Bagaimana pandangan Anda mengenai peran Antropologi dalam memahami dunia digital saat ini?

Komentar
Posting Komentar