Apakah Kasus Marital Rape mungkin terjadi ?



Beberapa waktu yang lalu saya melihat berseliweran poster di media sosial dengan bertuliskan “Memperkosa Istri adalah hak dan kewajiban Suami". Poster itu dibawa oleh salah seorang dalam aksi massa damai Mujahid 212 yang dilaksanakan di Jakarta Sabtu 28 September 2019.  Poster tersebut ditujukan sebagai bentuk ketidak setujuan atau penolakan mereka terhadap RUU-PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Salah satu Rancangan Undang-Undang yang diusung oleh kawan-kawan aktivis dan organisasi perempuan dalam upaya advokasi mereka melakukan penghapusan kejahatan seksual di Indonesia. Perancangan Undang-Undang PKS ini sudah dilakukan sejak tahun 2012 oleh organisasi-organisasi perempuan. Tahun 2016 RUU PKS sudah masuk prolegnas di DPR RI namun hingga saat ini RUU tersebut masih Mangkrak. Kemarin DPR menyatakan RUU PKS tidak akan disahkan oleh DPR priode jabatan 2014-2019. Salah Satu partai yang getol menolak undang-undang ini adalah PKS dengan alasan bahwa undang-undang ini merupakan undang-undang yang memperbolehkan perzinahan. Selain itu salah satu butir ayat di dalam undang-undang ini membahas tentang marital rape atau perkosaan di dalam pernikahan. Kasus perkosaan dalam pernikahan memang masih merupakan sesuatu yang diperdebatkan dan masih banyak orang yang yakin kalau hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Marital Rape atau pemerkosaan dalam perkawinan memiliki definisi yang cukup luas. Adriana Venny Aryani  Komisioner Komnas perempuan dalam wawancaranya dengan Kompas menyatakan bahwa  Marital Rape adalah hubungan seksual antara pasangan suami istri dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak dikehendaki pasangannya masing-masing. Marital Rape atau pemerkosaan dalam perkawinan digolongkan kedalam KDRT atau kekersan dalam rumah tangga.

Senada dengan yang dikatakan oleh Adriana, Kristi Poerwandari, psikolog dari Yayasan Pulih dalam wawancaranya dengan  Femina   menyatakan bahwa
Yang masuk dalam istilah marital rape bisa sangat luas. Intinya, ketika hubungan seksual dipaksakan melalui berbagai cara, dan akhirnya terjadi, meskipun salah satu pihak tidak menginginkan, merasa terpaksa, merasa sakit, diperlakukan dengan tidak hormat dan sekadar sebagai alat untuk pemuasan kepuasan pasangannya, tidak menikmati, baik dibarengi kekerasan fisik maupun tidak.

Survei persepsi  tentang marital rape

71% Mungkin, 29% tidak. Ada Konfirmasi salah isi


Beberapa waktu yang lalu saya melakukan jejak pendapat atau survei di Instagram melalui akun @khemaland dengan pertanyaan “Mungkinkah akan terjadi pemerkosaan dalam hubungan suami istri ?” Survei ini dilakukan dalam waktu 24 jam pada tanggal 29-30 Sep 2019 dan melibatkan orang-orang yang memfollow akun instagram saya. Responden yang melakukan jejak pendapat mungkin tidak mewakili secara umum pendapat seluruh follower akun @khemaland karena dalam menentukan sampel responden saya menggunakan non-probability sampling. Namun meskipun begitu hasil dari jejak pendapat ini setidaknya mampu memberikan insight kepada kita tentang persepsi orang-orang terkait kemungkinan pemerkosaan dalam perkawinan.

Dari hasil suvei tersebut menunjukan sekitar 71% dari total seluruh responden menyatakan “mungkin terjadi” dan sekitar 29% menyatakan hal tersebut "tidak mungkin terjadi". 

Responden yang menyatakan bahwa pemerkosaan "mungkin terjadi didalam hubungan pernikahan" memberikan contoh-contoh yang secara empirik mereka alami dan atau melihat pengalaman orang lain. Sedangkan  hal menarik lainya dari survei tersebut 50% dari orang yang menyatakan bahwa pemerkosaan tidak mungkin terjadi adalah orang yang memiliki status belum menikah dan tentu mereka belum pernah mendapatkan pengalaman langsung sebuah relasi pernikahan. 

Kasusu Marital Rape Memang Terjadi

Bila  melihat hasil jejak pendapat yang dilakukan di akun Instagram @khemaland beberapa responden menunjukan bahwa pemerkosaan itu terjadi di dalam ikatan pernikahan. Mereka memberikan beberapa contoh kasus marital rape. Secara umum pemahaman marital rape yang disampaikan oleh responden berkisar pada pemaksaan hubungan secara sebelah pihak yang dilakuka oleh pasanganya .







Saya sendiri pernah mendapatkan informasi tentang kasus marital rape yang terjadi kepada tetangga saya beberapa waktu yang lalu. Suami tetangga saya tersebut memaksa istrinya berhubungan seksual denganya, padahal istrinya baru melahirkan sekitar dua minggu. Kemudian yang terjadi setelah pemaksaan tersebut adalah kesakitan dan pendarahan pada si istri . Kasus lain yang terjadi adalah pemaksaan berhubungan pada istri yang lelah karena baru pulang bekerja. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum dan masyarakat kita melakukan "normalisasi" pada keadaan tersebut dengan berpendapat bahwa “Memang sudah kewajiban Istri melayani suami” atau “suami sebagai pemimpin keluarga berhak mendapatkan servis maksimal dari istrinya, daripada sumai harus jajan”

Contoh kasus lain bisa dilihat dari foto instagram yang diunggah oleh Kalis Mardiasih (@kalis.mardiasih) pada tanggal 28 September lalu. Ada dua kasus yang dishare oleh Kalis diantaranya adalah pemaksaan Istri yang baru melahirkan dan kasus kedua adalah pemaksaan pada istri yang bekerja sebagai seorang TKW.




Bila melihat secara statistik, 2016 lalu dilakukan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan United Nations Population Fund (UNFPA) dengan tajuk Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Dari sekitar 9.000 responden, berusia 15-64 tahun, ditemukan bahwa seperempat wanita menikah pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami.

Kemudian di dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada maret 2017 menyatakan bahwa telah terjadi sekitar 137 kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh suami atau yang disebut dengan marital rape

Sayangnya, bila menggunakan perangkat hukum yang ada pada saat ini sulit melakukan pembuktian pemerkosaan didalam perkawinan. Hal tersebut terjadi karena kasus marital rape berada dalam hubungan yang sangat private. kasus-kasus pemerkosaan dalam perkawinan merupakan peristiwa gunung es karena memang masih dilindungi oleh pranata masayarakat kita yang sangat patriarkis. Masih ada kata-kata di masayarakat kita “Kita tidak usah ikut campur, itu urusan rumah tangga orang lain”. Tapi tentu Kita tidak ingin  menunggu korban hingga meninggal baru warga atau pihak berwenang bertindak. 

RUU PKS sebenarnya berusaha mengcover kasus-kasus tersebut dalam bingkai perspektif korban. Namun sayangnya  organisasi-organisasi perempuan dan pendukung RUU PKS lainya masih harus terus bekerja keras agar RUU ini segera disahkan. Masih banyak pihak yang tidak setuju RUU ini disahkan. Banyak narasi yang dihembuskan untuk mecegah RUU ini disahkan. Diantaranya bahwa RUU ini di bertolak belakang dengan nilai-nilai agama dan ketimuran.

Kalau RUU PKS tidak segera di sahkan, lalu perangkat hukum apa yang dapat melindungi perempuan dari Marital Rape ?





Komentar