Sejarah Nama Desa Buniwangi Cianjur

Sumber gambar: https://zulwiyozaputra.files.wordpress.com/2013/04/img_2358.jpg


Penamaan  Desa Bunwangi Ini berawal dari sebuah kisah zaman dulu. Terdapatlah seorang warga Desa miskin yaitu Jamarun. Kampung mereka merupakan kampung yang subur dan terdapat sawah yang luas. Namun bagi keluarga Jamrun hal tersebut tidak ada artinya, apalagi pekerjaan Jamarun hanya sebatas buruh serabutan . Suatu Hari Jamarun tidak memiliki pekerjaan. Untuk mendapatkan makanan Jamarun berencana menyusuri sebuah parit untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan dan dibawa kerumah untuk istrinya yang sedang hamil. Cukup jauh jarak yang Jamarun lewati sampai tidak terasa dia sampai di Sungai Cianjur.

Sesampainya di sana Jamarun kemudian duduk di Batu Besar sambil melempar kail, ia akan memancing ikan. Cukup lama dia memandangi Kukumul, tak di duga ternyata ada sesosok mayat yang mengambang di sungai tersebut. Tanpa fikir panjang Jamarun langsung loncat untuk mengambil mayat tersebut. Setelah berhasil memeluknya Jamarun langsung membawanya kepinggir Sungai. Jamarun kemudian berteriak minta tolong kepada warga sekitar.

Dengan cepat kemudian warga mulai berkumpul dipinggir sungai untuk melihat mayat tersebut. Mayat tersebut kemudian diperiksa, untuk memastikan apakah sudah meninggal atau belum. Ternyata setelah diperiksa nafas dan denyut nadinya ternyata mayat tersebut sudah meninggal. Dalam situasi seperti itu kemudian ada seorang warga yang menuduh Jamarun sebagai pelakunya. “mang, kamu yah pelakunya ?” Teriak seorang warga. Jamarun menjawab “ Ampun paralun, bukan saya pelakunya saya tidak tahu apa-apa, dia tadi mengambang di sungai lalu saya kemudian membawanya ke darat “. “Ah Bohong kamu ayo kita pukulin aja” terika warga yang lain. Kemudian datanglah seorang Tetua Kampung. “Tunggu, jangan main hakim sendiri” ujar tetua Kampung. “Jamarun belum tentu pelakunya, dia bilang dia menemukanya sudah meninggal. Tidak mungkin kalau memang dia pelakunya dia akan menyelamatkan mayat tersebut” Lanjut Tetua kampung. “Ahh mana mungkin maling ngaku pak tetua.” Ujar seorang warga. “ baik…baik kalau begitu biar kita bawa saja kepada Kanjeng Dalem , biar beliau saja yang memutuskan. Bagaimana ? Setujukah” Tetua kampung mencoba menenangkan warga. “baik lah kalu begitu”. Setuju..”. “Iya setuju” sahut warga.

Akhirnya Jamarun di bawa ke Padepokan untuk dipertemukan denga Kanjeng Dalem. Ketua kampung melaporkan semua yang terjadi kepadnya. Kemudian kanjeng Dalem bertanya kepada Jamarun “Jamarun apa benar kau yang melakukanya?”. Jamrun menjelaskan kalau bukan dial ah pelaku pembunuhan mayat tersebut “Ampun, kanjeng bukan saya yang melakukanya, saya hanya bermaksud menolong mayat tersebut, ternyata mayat tersebut telah meninggal”. Kanjeng Dalem kemudian tertegum dan berfikir sejenak kemudian dia berujar “Baik lah kalau begitu, aku akan menunggu selama dua minggu sampai ada orang yang tertangkap atau mengaku siapa yang menjadi pembunuhnya. Namun apabila selam itu tidak ada yang mengaku dan tertangkap maka kau lah yang akan dihukum. Dan selam itu kamu akan ditahan terlebih dahulu. Bagaimana kamu setuju”. Karena tidak ada pilihan lain akhirnya Jamarun dengan ikhlas mengiyakan apa yang ditawarkan oleh Kanjeng Dalem “baik lah kanjeng apabila itu sudah menjadi titahmu maka saya akan menurut” .

Kemudian informasi ini disampaikan kepada keluarga Jamarun. Sontak Istri jamarun langsung bergegas menemuinya sambil menangis. “ Akang apa benar akang melakukan pembunuhan itu ?” Tanya istri Jamarun sambl terisak-isak. “Tentu  akang tidak melakukanya, eneng kan tau sendiri apakah mungkin akang akan melakukanya”. Kemudian setelah itu Istri Jamurun pulang sambil sedih dan mengatakan“ Kang kalau besok saya kesini lagi mau saya bawain apa kang ?”. Jamarun menjawab “Istriku tersayang bila kesini lagi bawain akang sarung serta sajadah saja dan kalau ada tolong bawakan biji  hanjéré .

Setelah istrinya membawakan apa yang dipesankan oleh istrinya, sepanjang hari Jamrun berdoa kepada Gusti Allah dan menjadikan biji hanjéré menjadi tasbih.”Gusti Allah tentu aku bukan pelaku pembunuhan itu, tolong tujukanlah siapa pelakunya dan buat dia mengakui perbuatanya”. Namun hingga waktu yang di tentukan oleh Kanjeng Delem telah tiba tidak seorang pun tertangkap dan mengaku sebagai pembunuh mayat tersebut.

Akhirnya Jamarun  pun akan dieksekusi. Dia dibawa ke alun-alun depan padepokan dan disaksikan oleh banyak warga. “Eksekusi….eksekusi…eksekusi…” teriak warga. Kemudian sebelum algojo melakukan tugasnya dia menanyakan tentang permintaan terakhir Jamarun sebelum dibunuh. Jamarun meminta tolong kepada algojo untuk memberikan biji hanjéré yang dia miliki kepada Kanjeng Dalem.

Akhirnya eksekusi pun dilakukan, Jamarun dipenggal oleh algojo. Warga yang tadinya berteriak-teriak kemudian terdiam. Setelah leher dipenggal dan Jamarun meninggal kemudian beterbanganlah banyak  burung diatas mayat Jamarun menutupi dia dari sinar matahari dan kemudian menghilang. Sontak wargapun lari ketakutan, begitupun dengan Algojo tadi. Dia teringat akan permintaan terakhir Jamrun untuk menyerahkan biji hanjéré kepada Kanjeng Dalem. Akhirnya algojo lari dan menemui Kanjeng Dalem.

Algojo menceritakan semua kejadian tersebut kepada Kanjeng Dalem dan menyerahkan biji hanjéré sebagai permintaan terakhir dari Jamarun. Kanjeng Dalem pun memandangi dan menaruh biji hanjéré di dadanya. Dai berkata “ saya menyesal terlalu cepat mengambil keputusan, ternyata Jamarun memang tidak bersalah”. Kemudian Kanjeng Dalem memerintahkan Algojo tersebut memakamkan Jamarun dengan selayaknya ditempat dia dieksekusi dengan tanah yang tertutup (Buni ).
Anehnya setelah mayat Jamarun dikuburkan, terciumlah bau yang sangat wangi dari Kuburan Jamarun. Dari kejadian tersebut nama kampung itu di beri nama Buni merujuk pada makam Jamarun yang ditutup(Buni) oleh tanah, kemudain kejadian burung pada saat  Jamarun sedang dieksekusi menutupi (buni) mayat jamarun. Sedangkan kata Wangi berasal dari kejadiam makam Jamarun yang menjadi Wangi. Sehingga kampung tersebut diberi nama BuniWangi.

*Cerita tersebut telah ditransalte dan disadur dari sumber aslinya.

Sumber
Pangestu, T. E. (2013, April 11). Sasakala Kampung Buniwangi. Retrieved Juni 13, 2017, from Danghyang Sanghyang Rahsa: https://tekadpangestu.wordpress.com/2013/04/11/sasakala-kampung-buniwangi/

Komentar