Renungan : Ketika semua masalah disandingkan kepada Uang, apakah nilai-nilai ke-Tuhanan telah berubah?

Saya teringat beberapa tahun lalu ketika saya menjadi seorang mahasiswa Antropologi di Universitas yang berada di Bandung. Saya melakukan diskusi kecil mengenai Ketuhanan. Eitsss….. zaman dulu diskusi mengenai Ketuhanan merupakan sesuatu yang sexy. Kita menanyakan tentang eksistensi Tuhan ( Maklum dulu saya masih sangat bersemangat untuk mempertanyakan keimanan saya terhadap Tuhan).

Diskusi tersebut merupakan diskusi tidak sengaja, ngalor ngidul. Hingga sampailah kepada pertanyaan kenapa Tuhan itu bisa eksis. Kami berfikir kalau setiap masyarakat[1] memiliki Agama masing-masing. Mereka mempersonifikasikan Tuhan dalam wujud yang berbeda-beda. Ada Tuhan yang tidak boleh diwujudkan, ada yang diwujudkan sebagi pria, sebagai seseorang yang rupawan, seseorang yang bercahaya hingga sebagi sesuatau yang tidak beranus.

Lalu kenapa konsep ketuhanan Itu muncul. Beberapa hipotesa muncul dan diungkapkan dalam diskusi pada saat itu. Namun yang paling mengena dan saya ingat adalah Tuhan “diciptakan” sebagai jawaban manusia atas segala fenomena yang tidak bisa mereka kendalikan dan tidak bisa mereka jawab. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang selalu menanyakan segala sesuatu. Dalam Buku Dunia Sophie[2] manusia awalnya seperti kutu yang berada diujung bulu kelinci, mereka menanyakan segala sesuatu namun waktu terus berlalu kutu tersebut semakin lama semakin masuk kedalam kulit kelinci tersebut, semakin hangat dan terjebak dalam kenyamanan.

Tuhan (meskipun dipersonifikasikan secara berbeda-beda) merupakan jawaban atas segala bentuk ketidak tahuan manusia dan bentuk prustasi manusia. Siapa yang menciptakan manusia ? Tuhan, Siapa yang menciptakan alam semesta ? Tuhan, kenapa kita bisa sakit? Kehendak Tuhan, kenapa terjadi kelaparan? Tuhan marah, knapa terjadi badai? Tuhan memberi peringatan. Tuhan…..tuhan….tuhan…dan tuhan-lah yang  merupakan jawaban atas ketidak becusan manusia menjawab persoalan. 

Jadi ingat perkataan Marx yang menybutkan kalu agama adalah candu. Gara-gara Tuhan kita menjadi Ikhlas. Meskipun kita sakit, karena kita hamba Tuhan maka kesakitan tersebut disyukuri dan dijadikan media penghapus dosa.


Eisss…. Serius euy,.. bentar mau “ninyuh” kopi dulu biar engga kles,.. hehe..


Oke, kita lanjut Sampai mana kita tadi? Oh, Tuhan sebagai jawaban persoalan manusia yah. Lalu ada pertanyaan lain; bagaimana dengan atheis? Atu bagaimana dengan aliran positifistik ? Saya tidak akan menjawab pertanyaan tersebut disini  karena itu persoalan lain bagi saya.

Kemudian akhir-akhir ini saya mengalami beberapa pristiwa yang anomali dengan pernyataan saya diatas. Diawali dari pernyataan ayah saya yang bilang “ kalau kamu ingin dihargai orang, kamu harus pintar mencari uang” selain itu dia sering mengeluh mengenai masalah yang muncul dalam keluarga karena dia (kita) tidak memiliki uang. Padahal saya pikir dia seorang pemeluk agama yang taat.


Selain itu banyak persoalan yang saya dengar, dan orang-orang mengeluh permasalah tersebut muncul karena miskin atau karena gak punya uang. Mereka mengandai “coba kita punya uang” .

Kasus terbaru yang sedang saya ikuti adalah kasus persidangan tentang penganiayaan dan kekerasan. Selama persidangan korban merasa mendapat perlakuan tidak adil dari kejaksaan atau hakim. Orang-orang mengumpat kalau uang lah yang membuat posisi mereka seperti ini (mengalami ketidak adilan). Meskipun sebenarnya kita tidak pernah memiliki bukti kalau uang lah yang membuat korban menerima ketidak adilan. Sedikit banyak Uanglah yang disalahkan.

Kasus lainnya, ketika saya mengajak teman untuk jalan. “Jalan yuk!” ujar saya kepada seorang teman, “engga ah” jawabnya.”knapa?” saya kembali bertanya. “Gak punya uang” .wow…. gara-gara uang? Sekarang yang tadinya Tuhan….Tuhan…Tuhan…. menjadi Uang….Uang….Uang….

Apakah terjadi pergesaran nilai ke-Tuhanan?. Apakah pengaruh globalisasi dan kapitalisme ?. Tuhan dipersonifikasikan menjadi sesuatu yang berangka. Mungkin asumsi saya terlau premature. Namun poin yang ingin saya sampaikan adalah sekarang uang dianggap sebagai sesuatu yang dapat merubah segalanya hingga Nilia-nilai ketuhanan bergeser. Tuhan sudah tidak adidaya lagi. Selain-Nya, uang lah yang dapat menjawab persoaaln manusia, atau bahkan dalam kasus lain Tuhan mungkin bisa disogok. Hehe



[1] Persfektif yang kami pakai adalah persefektif antropologi. Kami mempercayai relatifisme kebenaran. Sesuatu yang benar “di sini” belum tentu benar “di sana”. Asumsi kami mengenai masyarakat, bahawa mereka memiliki kebudayaan masing-masing termasuk agama. Bisa hasil adaptasi atau hanya perenungan semata.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Sophie

Komentar