Malam terasa semakin menantang, ketika alunan musik Tarawangsa
terdengar alunan dari dua alat musik tarawangsa, rebab dan kecapi.
Alunan nada lembut memberikan nuansa damai berbalut mistis. Rebab
dimainkan penuh energik sedangkan kecapi dimainkan petik perpetik.
Antusiasme warga mulai terasa saat acara ini dimulai. Mereka menyebut acara ini dengan sebutan ‘nyareatan’ atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menari. Saehu yang
pada saat itu adalah Oma Sutisna memimpin acara kesenian Tarawangsa
diawali dengan proses pemanggilan roh leluhur dengan kemenyan, sesajen,
dan pakaian yang disebut dengan kegiatan Ngalungsurkeun.
Saehu melakukan sungkeman kepada para saksi yang hadir atau pada
kesempatan itu adalah para tokoh masyarakat sebagai tanda penghormatan
seperti dalam Filosofi Tarawangsa sendiri yaitu Ormatan, hormat
kepada tarekat dan hakekat sebagai simbol dari hubungan vertikal yaitu
hubungan manusia dengan Tuhan dan Horizontal yaitu hubungan manusia
dengan manusia.
Kepul asap kemenyan menambah suasana mistis namun terasa hikmat. Asap membumbung memenuhi ruangan dan wangi kemenyan begitu menyengat. Sungkeman
telah dilaksanakan lalu saehu pun mengenakan selendang putih sebagai
tanda kesucian hati dan bersihnya jiwa. Keris kemudian diangkat
menyimbolkan sebuah undangan penghormatan kepada para leluhur agar dapat
hadir dalam upacara.
Dalam rangka mengundang para leluhur tarian pun dimulai oleh saehu. Tarian ini masih termasuk dalam rangkaian ngalungsurkeun.
Tarian lemah gemulai mengikuti alunan simfoni tarawangsa yang terdengar
begitu ‘menghanyutkan’. saehu melakukan gerakan tarian yang disebut
dengan ibing badhaya.
Setelah ibing badhaya dilakukan oleh saehu selanjutnya adalah tarian yang dilakukan oleh para wanita yang diawali dengan melakukan ider naga (berkeleling sambil membawa keris dan beberapa saji) terlebih dahulu. Mereka berkeliling sambil menari.
Hingga Musik pun berhenti dan sasajen disimpan lalu semua
penari wanita yang berjumlah lima orang pun kembali duduk. Seorang Saehu
Perempuan melakukan kegiatan yang disebut dengan Netes. Beliau berdoa dan melakukan amitan sebagai piranti komunikasi dengan Ghaib. Setelah berdoa dilanjutkan dengan menyirami sasajen dan ineban dengan menggunakan air sebagai maksud agar kita selalu dilimpahi anugerah seperti hujan yang telah menyuburkan padi.
Musik pun kembali mengalun dan saehu laki-laki kembali menari. Pada kesempatan ini tarian yang dilakukan disebut dengan Nema paibuan. Tidak ada ciri khas yang nampak dari tarian itu namun mengalir sesuai dengan alunan musik. Nema paibuan memiliki maksud pemberian giliran kepada wanita yang hadir untuk melakukan nyareatan.
Ada sesuatu yang berbeda disini yaitu pada selendang. Kali ini
selendang saehu ditambah dengan dua warna yang lain yaitu selendang
berwarna merah dan selendang berwarna hijau dimana selendang mempunyai
fungsi sebagai alat kontrol untuk penari agar tidak “liar” apabila
mengalami trance.
Trance adalah kondisi dimana seseorang telah mencapai pada
suatu titik kenikmatan sehingga mengakibatkan penari mampu menari diluar
kontrol dirinya sendiri . Trance ini biasa disebut warga sekitar dengan keserepan. Mereka percaya pada saat kaserepan
ruh suci memasuki tubuh mereka. Asep Nata(45) dosen kesenian dari STSI
yang sempat kami wawancara di kampus STSI menyebut istilah trance ini
dengan istilah ekstasi karena menurut beliau peristiwa tersebut muncul ketika penari mencapai puncak kenikmatan.
Keserepan berbeda dengan kasurupan. Orang-orang yang mengalami keserepan
biasanya masih dapat mengontrol dirinya. Gerakan ini memang terjadi
tanpa aturan namun semua itu mengalir alami dalam ruangan penuh asap
kemenyan sesuai dengan iringan musik yang terus setia berbunyi.
Tarian semakin “energik” namun masih dalam konrol aliran musik. Badi
atau Keris pun dipegang dan diangkat ke atas. Beberapa tokoh yang
berperan sebagai saksi menepuk tangan mereka sesuai dengan irama musik.
‘prok-prok’ terdengar serempak. Suara tepukan tangan tersebut ternyata
dapat memberi nuansa nikmat bagi penari. Tarian pun berhenti bersamaan
dengan berhentinya alunan musik. Saehu melanjutkan dengan bersungkeman
dengan para saksi. “Cekap ah ulah lami tuing” saehu berkata seakan semuanya telah terkendali.
Selanjutnya berganti giliran dari saehu laki-laki dilanjutkan dengan giliran para perempuan untuk melakukan nyareatan.
Sebelumnya saehu perempuan melakukan doa di depan kukus dan sesajen
yang mana sebagai media komunikasi untuk meminta ijin/restu dan sering
disebut dengan kegiatan amitan.
Para saksi yang berada didalam ruangan diminta untuk bersalaman.
Beberapa perempuan kemudian menari secara bergiliran. Mereka begiu
menikmati musik dan mereka menari begitu spontan. Pada kesempatan kali
ini ada kejadian seorang ibu membawa koin yang telah dilumuri oleh
minyak wijen. Kemudian Ibu tersebut berjalan sambil berpola seperti
posisi duduk para saksi yang berbentuk leter U.
Setiap saksi yang dilewatinya harus mencium koin yang ia bawa dengan
harapan untuk mendapatkan berkah. Menurut kepercayaan warga sekitar padi
dan uang merupakan simbol yang berpasangan. Uang melambangkan nu Kasep (Sifat pria) dan padi melambangkan nu Geulis (sifat wanita)
Mantaff... :D
BalasHapus